Rabu, 18 Januari 2012

Tips Memotret Human Interest

Manusia dengan segala aspek kehidupan yang dilakukannya memang selalu menarik untuk dijadikan objek pemotretan. Kemenarikan tersebut bisa muncul, karena dipicu oleh kegiatannya  yang terasa menyentuh. Baik itu aktivitas dalam suatu adat budaya suatu masyarakat tertentu maupun aktivitas dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi fotografer yang terbiasa mengamati masalah-masalah sosial, maka objek yang berlatar belakang aktifitas manusia ini akan menjadi sebuah karya foto yang begitu menarik untuk dilihat dan tentunya tidak akan sulit untuk dilakukan.

Foto yang menjadikan manusia sebagai objek pemotretan ini biasanya disebut sebagai foto human interest. Namun masalahnya, memotret humant interest ini terkadang tidak semudah yang kita bayangkan. Banyak kendala-kendala di lapangan yang harus kita lalui ketika kita memotret obyeknya, contohnya ketika kita hendak mengambil gambar tiba-tiba si objek yang bersangkutan sadar kamera, sehingga hasil gambar yang kita dapat terkesan tidak tampak alami.
Untuk Anda yang ingin memotret hument interest mungkin beberapa tips di bawah ini dapat bermanfaat bagi Anda:



1. Siapkan lensa tele
Biasanya para fotografer ketika hendak memotret human  nterest manusia dan aktivitasnya, kebanyakan pemotret menggunakan teknik candid atau cara memotret yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi sehingga objek tidak tahu jika dirinya sedang dipotret. Hal tersebut karena alasan untuk menghasilkan foto yang tampak baik dan menarik, spontan dan wajar.
Untuk itu, ada baiknya Anda menyiapkan lensa tele 80-200 mm atau 70-300 mm yang bisa dijadikan pilihan yang menarik untuk bisa digunakan saat kita hunting foto human interest. Akan tetapi bila memungkinkan menggunakan lebih dari satu buah kamera dengan tambahan lensa 28-85 mm, akan lebih baik. Sehingga dari hampir semua jarak dalam pemotretan, baik itu dekat, sedang dan jauh, dapat tercover semua bila diperlukan.

2. Lakukan pendekatan dengan objek foto.
Bagi Anda yang tidak membawa atau memiliki lensa tele, mungkin ada baiknya kita bisa melakukan pendekatan langsung dengan objek foto. Dengan melakukan pendekatan kepada objek, tentunya akan terasa lebih etis dan kita pun bisa lebih leluasa untuk mengatur pose, ataupun pencahayaannya.        
Cuma masalahnya, kelemahan dalam pendekatan ini foto yang dihasilkan akan terlihat kaku atau kurang dramatis. Nah untuk itu, si fotografer harus benar-benar piawai mengatasi keadaan, sehingga objek yang akan di foto seolah betul-betul tidak sedang berhadapan dengan kamera.

3. Gunakan ISO sesuai dengan keperluan
Biasanya untuk memotret human interest, menggunakan ISO 100 sudah cukup memadai untuk menangkap aktivitas kegiatan manusia baik pagi, siang hingga sore hari di luar ruangan. Akan tetapi bila aktivitas manusia itu sangat berhubungan erat dengan gerak yang cepat, maka diperlukan ISO yang tinggi misalnya ISO 400. Tujuannya tak lain agar gambar atau peristiwanya dapat terekam dengan baik dan tidak goyang.

4. Gunakan angle (sudut pengambilan foto) yang terbaik
Ketika hendak memotret, gunakan sudut pandang atau sudut pengambilan foto yang tepat dan baik guna menghasilkan sebuah foto yang enak untuk dipandang. Janganlah terburu-buru ketika menekan tombol shutter, karena dengan terburu nafsu untuk “menjepret” mungkin Anda akan melupan angle foto yang baik untuk memotret.

Tips Foto Macro

Melalui foto makro kita dapat melihat keindahan "dunia lain" melalui detail dan perbesaran objek yang mungkin tidak tampak/tidak kita sadari apabila kita lihat dengan mata telanjang.

Berikut beberapa tips untuk foto macro:

1. Untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam foto makro maka cara yang termudah adalah menggunakan lensa khusus makro. Mengapa lensa makro? Apakah lensa biasa tidak dapat digunakan untuk memotret makro? Bisa, namun lensa biasa pada umumnya apabila digunakan untuk memotret jarak dekat (minimum fokusnya) maka ketajamannya tidak maksimal, dan hasilnya cenderung soft. Lensa makro didesain secara khusus agar dapat menghasilkan perbesaran yang tinggi (rasio 1:2 atau 1:1/ life size) dan ketajamannya optimal. Pada jarak fokus yang dekat detil suatu objek dapat tertangkap dengan baik dan tajam.   

2. Lensa makro memiliki ketajaman ruang (DOF) yang sempit untuk pemotretan jarak dekat. Maka gunakan bukaan tidak lebih lebar dari f/8 untuk menghasilkan bidang tajam yang luas. atau apabila anda ingin bermain dengan DOF sempit, gunakan bukaan lebih lebar dan pilih bagian mana dari objek yang diinginkan dalam fokus, sehingga dapat menghasilkan karya yang artistik.

3. Sangat menyenangkan apabila melihat serangga, bunga atau apapun objek dalam fokus yang sempurna dan warna yang cantik. karenanya sebelum mengambil gambar settinglah Aperture, picture control, White Balance (WB) kamera anda sesuai selera anda. Agar anda tidak kehilangan momen apabila memotret objek yang bergerak, seperti serangga.

4. Tantangan terbesar dalam foto makro adalah focus breathing. Dimana anda harus mengatur pernapasan untuk menghindari shake yang dapat menyebabkan gambar blur, serta gambar dalam fokus yang prima. Tarik nafas tahan keluarkan setengah, dan tahan sewaktu menekan tombol shutter.

5. waktu pemotretan makro yang sangat baik adalah pagi hari saat cuaca cerah dimana pada saat-saat itu serangga lebih jinak belum sangat aktif bergerak dan dengan intensitas cahaya yang cukup maka anda dapat menggunakan shutter cepat dan objek anda memperoleh pencahayaan yang merata. 

6. Dalam memotret makro saya lebih suka menggunakan fokus manual, karena menurut saya lebih presisi. Selain itu, Auto focus sering tidak akurat apabila digunakan dalam jarak permoteretan yang sangat dekat.

7. Usahakan background foto makro sesederhana mungkin, jangan terlalu ramai, sehingga tidak mengaburkan objek yang kita tangkap. Untuk mendapatkan bokeh dengan bokeh yang halus maka usahakan objek makro berada jauh dengan background.

9.  Ready for Action, aktivitas dan perilaku serangga, sangat menarik untuk diabadikan,  karena itu harus jeli melihat momen.

Selasa, 17 Januari 2012

Cinta dalam Poto

Satu, dua, tiga, (jepret...)
Senjata : Canon 450 D
Model : Ihda Faradisa (pacar, calon istri, kekasih, belahan jiwa, dll)
Tempat : Pantai Marina
Lensa : 50 mm f/18


Banyak kisah di antara aku dan dia. Dia pacar pertama dan terakhirku. "Ndut", atau "gendut", itu panggilan kami berdua. (ketawa sambil malu "Hehehe....") Entah sebuah kesengajaan atau tidak, aku bisa mengenal dia, lalu dekat. Mau percaya atau tidak, kisah ini tidak diawali dengan kata "JADIAN" karena perasaan ini bukan "Jadi-jadian". Ini "real" rasa, dan sangat terasa.
Pada dasarnya aku ini pemalu (kurang PD) banget. Untuk mendekati cewekpun gak berani (maka dari itu gak laku-laku). Sebelumnya aku belum pernah punya pacar, sampai lulus SMA aku ptuskan untuk kuliah di Unnes, Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa. Ya, ini awal kisahku.
Perkenalan singkat lau teman dekat....sampai hati dan perasaan kami lekat.


My Face Book (rai Buku)

Satwa

Di bawah ini ada beberapa hasil jepretan dengan model si Ijo manis.

Title : Bunglon # 1
Senjata Canon Eos 450 D
Lensa : Canon Macro 125 mm



Title : Bunglon # 2
Senjata Canon Eos 450 D
Lensa : Canon Macro 125 mm




Title : Bunglon # 3
Senjata Canon Eos 450 D
Lensa : Canon Macro 125 mm

Senin, 16 Januari 2012

Perbedaan Mode P, Av, Tv dan M pada kamera DSLR

Untuk mengenal lebih jauh fungsi dari penggunaan manual pada kamera DSLR, alangkah baiknya juga kita ketahui fungsi dasar dari sebuah kamera.
Ada 4 Unsur penting pada sebuah kamera :
1. Shutter speed (kecepatan rana),
2. Aperture (diafragma)
3. Exposure Compensation (Ev)
4. ISO

Shutter bertugas mengatur berapa lama cahaya akan mengenai sensor (atau film pada kamera analog), dinyatakan dalam satuan detik. Semakin singkat kecepatan shutter maka semakin sedikit cahaya yang masuk, dan demikian pula sebaliknya. Biasanya kamera memiliki kecepatan shutter mulai dari beberapa detik hingga 1/4000 detik.
30” = 30 detik lamanya
1/40000 = Cepat/ngacir
Aperture memiliki tugas mengatur banyak sedikitnya cahaya yang masuk ke lensa (dengan memperbesar atau memperkecil ukuran diafragma), dinyatakan dalam nilai pecahan mulai yang terbesar hingga terkecil (contoh : f/2.8, f/3.5, f/8 dsb). Nilai maksimum dan minimum aperture suatu kamera ditentukan dari lensanya, dan nilai ini akan berubah seiring dengan perubahan jarak fokal lensa.
f/8 = focus melebar, backgroundnya jelas; tidak blur
ISO menentukan tingkat sensitivitas sensor terhadap cahaya sehingga semakin tinggi nilai ISO maka sensor akan semakin peka terhadap cahaya meski dengan resiko meningkatnya noise pada foto. Faktor ISO ini menjadi pelengkap komponen eksposure selain shutter dan aperture, terutama saat kombinasi shutter dan aperture belum berhasil mendapatkan nilai eksposure yang tepat.
Tersedia pilihan untuk menentukan nilai sensitivitas sensor/ISO mulai dari AUTO, 100, 200, 400 hingga 1600.
Makin besar ISO makin graniny hasil fotonya.
100 & 200 = untuk kondisi Cahaya Terang/siang
400 = untuk cahaya agak Gelap/Indoor
800/1600 = Malam Hari
Ada kamera yang bahkan untuk menentukan nilai ISO sepenuhnya adalah AUTO, ada kamera yang nilai ISO terendahnya di 50, dan ada kamera yang sanggup mencapai ISO amat tinggi (3200, 6400 hingga 10000).
Program mode (P).

Huruf P disini kadang artinya diplesetkan sebagai ‘Pemula’ karena sebenarnya di mode ini hampir sama seperti memakai mode AUTO (oleh karena itu mode P ini relatif aman untuk dipakai sebagai mode standar sehari-hari). Bila pada mode AUTO semua parameter ditentukan secara otomatis oleh kamera, maka pada mode P ini meski kamera masih menentukan nilai shutter dan eksposure secara otomatis, namun kita punya kebebasan mengatur nilai ISO, white balance, mode lampu kilat dan Exposure Compensation (Ev). Tampaknya tidak ada yang istimewa di mode P ini, tapi tunggu dulu, beberapa kamera ada yang membuat mode P ini lebih fleksibel dengan kemampuan program-shift. Dengan adanya program-shift ini maka kita bisa merubah variasi nilai pasangan shutter-aperture yang mungkin namun tetap memberikan eksposure yang tepat. Bila kamera anda memungkinkan program-shift pada mode P ini, cobalah berkreasi dengan berbagai variasi pasangan nilai shutter-eksposure yang berbeda dan temukan perbedaannya.
Aperture-priority mode (Av).
Mode ini optimal untuk mengontrol depth-of-field (DOF) dari suatu foto, dengan cara mengatur nilai bukaan diafragma lensa (sementara kamera akan menentukan nilai shutter yang sesuai).
Aturlah diafragma ke bukaan maksimal (nilai f kecil) untuk mendapat foto yang DOFnya sempit (objek tajam sementara latar belakang blur) dan sebaliknya kecilkan nilai diafragma (nilai f tinggi) untuk mendapat foto yang tajam baik objek maupun latarnya. Biasanya pada lensa kamera saku, bukaan diafragma maksimal di f/2.8 (pada saat wide maksimum).
Shutter-priority mode (Tv).
Mode ini kebalikan dari mode Av, dimana kita yang menentukan kecepatan shutter sementara kamera akan mencarikan nilai bukaan diafragma yang terbaik. Mode ini berguna untuk membuat foto yang beku (freeze) atau blur dari benda yang bergerak. Dengan memakai shutter amat cepat, kita bisa menangkap gerakan beku dari suatu momen olahraga, misalnya. Sebaliknya untuk membuat kesan blur dari suatu gerakan (seperti pada kendaraan di malam hari) bisa dengan memakai shutter lambat. Memakai shutter lambat juga bermanfaat untuk memotret low-light apabila sumber cahaya yang ada kurang mencukupi sehingga diperlukan waktu cukup lama untuk kamera menangkap cahaya. Yang perlu diingat saat memakai shutter cepat, cahaya harus cukup banyak sehingga hasil foto tidak gelap. Sebaliknya saat memakai shutter lambat, resiko foto blur akibat getaran tangan akan semakin tinggi bila kecepatan shutter diturunkan. Untuk itu gunakan fitur image stabilizer (bila ada) atau gunakan tripod. Sebagai catatan saya, nilai kecepatan shutter mulai saya anggap rendah dan cenderung dapat mengalami blur karena getaran tangan adalah sekitar 1/30 detik, meski ini juga tergantung dari cara dan kebiasaan kita memotret serta posisi jarak fokal lensa. Pada kecepatan shutter sangat rendah di 1/8 detik, pemakaian stabilizer sudah tidak efektif lagi dan sebaiknya gunakan tripod.
Manual mode (M)
Di level mode full-manual ini, fotograferlah yang bertugas sebagai penentu baik nilai shutter dan aperture. Light-meter pada kamera tetap berfungsi, namun tidak digunakan untuk mengatur nilai eksposure secara otomatis, melainkan hanya sebagai pembanding seberapa jauh eksposure yang kita atur mendekati eksposure yang diukur oleh kamera. Di mode ini dibutuhkan pemahaman akan eksposure yang baik, dalam arti fotografer harus mampu untuk mengenal kondisi cahaya pada saat itu dan dapat membayangkan berapa nilai shutter dan aperture yang diperlukan. Bila variasi kedua parameter ini tidak tepat, niscaya foto yang dihasilkan akan terlalu terang atau terlalu gelap. Namun bila sukses memakai mode manual ini, kita bisa mendapat foto yang memiliki eksposure yang baik melebihi foto yang diambil dengan mode AUTO, Program, Aperture-priority ataupun Shutter-priority. Contohnya pada saat mengambil foto sunset di pantai dimana dibutuhkan feeling yang tepat akan eksposure yang diinginkan.
Dengan memahami fungsi-fungsi dari fitur manual pada kamera, diharapkan kita mau mencoba-coba berkreasi dengan fitur tersebut dan mendapat hasil yang memuaskan. Selamat berkreasi..
Exposure Compensation (Ev), digunakan untuk mengkompensasi eksposure ke arah terang atau gelap. Apabila eksposure yang ditentukan oleh kamera tidak sesuai dengan keinginan kita, fitur ini dapat membantu. Naikkan Ev ke arah positif untuk membuat foto lebih terang dan turunkan untuk mendapat foto yang lebih gelap. Biasanya tingkatan/step nilai Ev ini dibuat dalam kelipatan 1/3 atau 1/2 step.
Manual focus, suatu fitur yang tidak begitu banyak dijumpai di kamera saku. Berguna apabila auto fokus pada kamera gagal mencari fokus yang dimaksud, seperti pada objek foto yang tidak punya cukup kontras untuk kamera mengunci fokus (karena kerja auto fokus kamera berdasar pada deteksi kontras).
Manual White Balance, untuk mendapatkan temperatur warna yang sesuai dengan aslinya. Bermacam sumber cahaya yang berlainan sumbernya memiliki temperatur warna (dinyatakan dalam Kelvin) berbeda-beda, sehingga kesalahan dalam mengenal sumber cahaya akan membuat warna putih menjdi terlalu biru atau terlalu merah. Umumnya semua kamera digital termasuk kamera ponsel telah memiliki fitur auto White Balance yang bisa beradaptasi pada berbagai sumber cahaya. Namun sebaiknya kamera anda memiliki keleluasaan untuk mengatur White Balance secara manual seperti Daylight, Cloudy, Tungsten, Flourescent dan manual adjust.
Flash intensity level, berguna untuk mengubah-ubah kekuatan cahaya dari lampu kilat pada kamera. Hal ini kadang berguna saat hasil foto yang diambil dengan lampu kilat ternyata terlalu terang atau justru kurang terang.
Fitur manual manakah yang paling berdampak langsung pada kualitas hasil foto? Karena fotografi adalah permainan cahaya (exposure) dimana tiga unsur pada kamera yang menentukan adalah Shutter speed (kecepatan rana), Aperture (diafragma) dan ISO, maka fitur manual paling penting menurut saya adalah fitur manual P/A/S/M dan fitur manual ISO (sejauh yang saya amati, apabila sebuah kamera telah memiliki fitur P/A/S/M, maka kamera tersebut juga telah memiliki fitur manual ISO). Pada prinsipnya, kamera (dan fotografer) akan berupaya untuk menghasilkan sebuah foto yang memiliki eksposure yang tepat. Artinya, foto yang dihasilkan semestinya tidak boleh terlalu gelap atau terlalu terang. Gelap terangnya foto yang dibuat oleh kamera ditentukan dari ketiga faktor tadi, dimana :
MAGIC NUMBER
Aperture:
1.4 2.0 2.8 3.5 4.0 5.6 8.0 11.0 16.0 22.0 dst
Shutter Speed:
1/2 1/4 1/8 1/16 1/30 1/60 1/125 1/250 1/500 1/1000 dst
Jika light meter membaca A: f 2.8 pada 1/125 sama saja nilai cahaya yang masuk dengan A f3.5 pada 1/60. (A turun 1 stop dan speed naik 1 stop).
Kalau lightmeter membaca A: f.2.8 pada 1/125 dan ada yang bilang “naikin dua stop!”. Pilihannya bisa:
A:2.0 S: 1/60 (masing-masing naik 1 stop) atau,
A:1,4 S tetap 1/125 atau
A tetap 2.8 dan S: 1/30.
Dulu pembagiannya jelas, A urusan lensa sedangkan S urusan kamera.

Minggu, 15 Januari 2012

Memahami Shutter Speed

Secara definisi, shutter speed adalah rentang waktu saat shutter di kamera anda terbuka. Secara lebih mudah, shutter speed berarti waktu dimana sensor kita ‘melihat’ subyek yang akan kita foto. Gampangnya shutter speed adalah waktu antara kita memencet tombol shutter di kamera sampai tombol ini kembali ke posisi semula.
Supaya mudah, kita terjemahkan konsep ini dalam beberapa penggunaannya di kamera:
  • Setting shutter speed sebesar 500 dalam kamera anda berarti rentang waktu sebanyak 1/500 (seperlimaratus) detik. Ya, sesingkat dan sekilat itu. Sementara untuk waktu eksposur sebanyak 30 detik, anda akan melihat tulisan seperti ini: 30’’
  • Setting shutter speed di kamera anda biasanya dalam kelipatan 2, jadi kita akan melihat deretan seperti ini: 1/500, 1/250, 1/125, 1/60, 1/30 dst. Kini hampir semua kamera juga mengijinkan setting 1/3 stop, jadi kurang lebih pergerakan shutter speed yang lebih rapat; 1/500, 1/400, 1/320, 1/250, 1/200, 1/160 … dst.
  • Untuk menghasilkan foto yang tajam, gunakan shutter speed yang aman. Aturan aman dalam kebanyakan kondisi adalah setting shutter speed 1/60 atau lebih cepat, sehingga foto yang dihasilkan akan tajam dan aman dari hasil foto yang berbayang (blur/ tidak fokus). Kita bisa mengakali batas aman ini dengan tripod atau menggunakan fitur Image Stabilization (dibahas dalam posting mendatang)
  • Batas shutter speed yang aman lainnya adalah: shutter speed kita harus lebih besar dari panjang lensa kita. Jadi kalau kita memakai lensa 50mm, gunakan shutter minimal 1/60 detik. Jika kita memakai lensa 17mm, gunakan shutter speed 1/30 det.
  • Shutter speed untuk membekukan gerakan. Gunakan shutter speed setinggi mungkin yang bisa dicapai untuk membekukan gerakan. Semakin cepat obyek bergerak yang ingin kita bekukan dalam foto, akan semakin cepat shutter speed yang dibutuhkan. Untuk membekukan gerakan burung yang terbang misalnya, gunakan mode Shutter Priority dan set shutter speed di angka 1/1000 detik (idealnya ISO diset ke opsi auto) supaya hasilnya tajam. Kalau anda perhatikan, fotografer olahraga sangat mengidolakan mode S/Tv ini.
  • Blur yang disengaja – shutter speed untuk menunjukkan efek gerakan. Ketika memotret benda bergerak, kita bisa secara sengaja melambatkan shutter speed kita untuk menunjukkan efek pergerakan. Pastikan anda mengikutkan minimal satu obyek diam sebagai jangkar foto tersebut. 



Memahami Konsep Eskposur

Seringkali setelah membeli kamera digital baik slr maupun point & shoot, kita terpaku pada mode auto untuk waktu yang cukup lama. Mode auto memang paling mudah dan cepat, namun tidak memberikan kepuasan kreatifitas.
Bagi yang ingin “lulus  dan naik kelas” dari mode auto serta ingin meyalurkan jiwa kreatif  kedalam foto-foto yang dihasilkan, ada baiknya kita pahami konsep eksposur. Fotografer kenamaan, Bryan Peterson, telah menulis sebuah buku berjudul Understanding Exposure yang didalamnya diterangkan konsep eskposur secara mudah.
Peterson member ilustrasi tentang tiga elemen yang harus diketahui untuk memahami eksposur, dia menamai hubungan ketiganya sebagai sebuah Segitiga Fotografi. Setiap elemen dalam segitiga fotografi ini berhubungan dengan cahaya, bagaimana cahaya masuk dan berinteraksi dengan kamera.
Ketiga elemen tersebut adalah:
  1. ISO – ukuran seberapa sensitif sensor kamera terhadap cahaya
  2. Aperture – seberapa besar lensa terbuka saat foto diambil
  3. Shutter Speed – rentang waktu “jendela’ didepan sensor kamera terbuka
Interaksi ketiga elemen inilah yang disebut eksposur.  Perubahan dalam salah satu elemen akan mengakibatkan perubahan dalam elemen lainnya.
Perumpamaan Segitiga Eksposur
Mungkin jalan yang paling mudah dalam memahami eksposur adalah dengan memberikan sebuah perumpamaan. Dalam hal ini saya menyukai perumpamaan segitiga eksposur seperti halnya sebuah keran air. Shutter speed bagi saya adalah berapa lama kita membuka keran, aperture adalah  seberapa lebar kita membuka keran dan ISO adalah kuatnya dorongan air dari PDAM, dan air yang mengalir melalui keran tersebut adalah cahaya yang diterima sensor kamera. Tentu bukan perumpamaan yang sempurna, tapi paling tidak kita mendapat ide dasarnya.
Bunglon, Canon Eos 450 D; lensa macro 125 mm